ADONARAindonesia

"Hanya hidup demi sesama yang membuat kehidupan menjadi lebih bermakna"
(Albert Einstein)

..........SALAM DAMAI DALAM KERAGAMAN..........

Rabu, 12 Maret 2008

Valday 2008 di rmh bp Orong


Kami selalu berusaha merayakan setiap momen; termasuk hari Valentine. Yg terpenting bagi kami adalah, bisa berkumpul bersama, berbagi cerita, 
dan merencanakan yg terbaik untuk ke depan.
Yang tua pun tidak mau ketinggalan.
"Saya merasa seperti seorang abg, padahal usia saya sdh 79 tahun", kata bapak Kopong Lonek
disambut tawa anak2 GEMA. Menurutnya, bergabung dgn yg muda, selain sbg obat awet muda, juga sbg tanggungjwb 
dr generasi tua thdp yg muda.
Ya tua aja semangat, kenapa yg muda mlempem?

Selasa, 04 Desember 2007

Syukuran Wisuda Ina dan Dewi

Sarjana dan Mahasiswa Rantau

(Tulisan ini pernah dimuat SURYA, 29/11/07)

Peribahasa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung agaknya perlu dimaknai lebih dalam. Mengalah, rendah hati, dan santun adalah kuncinya.
Zaman sekarang, menjadi sarjana bukan suatu keistimewaan lagi. Dunia perguruan tinggi tak lagi menara gading bagi masyarakat. Menjadi sarjana adalah tuntutan wajar, karena penguasaan ilmu dan teknologi merupakan konsekuensi logis untuk bangsa dan negara yang sedang berkembang.

Simon Muda Makin yang mewakili warga Adonara di Surabaya saat syukuran wisuda anggota Generasi Muda Adonara (Gema) Surabaya mengatakan, gelar yang disandang bukan untuk gagah-gagahan, tetapi perlu dimaknai sebagai tanggung jawab sosial. Ketika diwisuda, seorang sarjana baru melewati tahap mengetahui (to know). Sedangkan tahap berikutnya yang sebenarnya lebih berat adalah tahap melakukan (to do) dan menjadi (to be). Ini bukan perkara mudah mengingat pengangguran lulusan universitas tidaklah sedikit.

Di kota yang lebih maju, seharusnya memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk menimba ilmu. “Jangan habiskan waktu untuk cari masalah dan bersenang-senang saja. Harus ada yang dilakukan untuk daerah biar ada gunanya kalian kuliah di Jawa,” kata pria energik yang berprofesi sebagai jaksa ini.

Menanggapi bentrok pemuda dan mahasiswa rantau dengan warga setempat, Muda Makin mengatakan, masalah ini muncul karena mahasiswa rantau belum sepenuhnya memahami dan menghargai budaya lingkungan. Peribahasa di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung agaknya perlu dimaknai lebih dalam. Mengalah, rendah hati, dan santun adalah kuncinya. Kebebasan adalah hak seseorang. Namun, orang lain pun punya hak yang mengharuskan kita membatasi hak sebagai bentuk penghargaan terhadap lingkungan.

Acara syukuran di rumah Orong Sabon Hendrikus, salah satu pembina Gema ini dihadiri komunitas pemuda dan mahasiswa dari Malang (Panusa), Jogjakarta (Ikmay), dan Bali. Raya Muda Makin (23), yang lulus dari Fakultas Kedokteran Udayana, Bali mengatakan dia memutuskan untuk mengabdi di Adonara. Menurutnya, dokter di Adonara masih jarang dan ingin membantu masyarakat melalui profesinya. “Mengabdi untuk tanah kelahiran sama halnya mengabdi untuk bangsa ini. Menjadi dokter kampung nan bersahaja adalah impian saya,” kata Raya optimis. (ansis)

Kamis, 22 November 2007

Ttg Belis

Mas Kawin Gading "yang Tak Pernah Retak"
Tulisan ini pernah dimuat di Kompas (26/9/2006)

Sejumlah tokoh adat dan agama di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, memperkirakan budaya pemberian mas kawin gading gajah suatu saat akan lenyap.

Generasi muda akan meninggalkan adat perkawinan seperti itu karena tidak semua orang memiliki gading dan tidak mudah mendapatkan gading gajah. Jumlah gading yang dipersyaratkan untuk meminang seorang gadis pun tidak sedikit, bisa sampai 10 batang.

Oleh karena itu, tokoh masyarakat Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Laurens Todo Way pekan lalu di Larantuka mengimbau agar semua pihak di Flores Timur, terutama di Adonara, mempertimbangkan kembali budaya pemberian mas kawin gading gajah tersebut.

Harus dipertahankan atau dihapus? Jika dipertahankan, katanya, maka harus ditetapkan dalam suatu musyawarah besar masyarakat Lamaholot dengan tujuan menegakkan kembali nama besar mas kawin gading.

Namun, jika sebagian besar masyarakat adat Flores Timur tidak menghendaki lagi kewajiban melamar dengan membawa mas kawin gading, maka budaya itu tentunya dihapus.

Pendapat itu tentunya tidak muncul begitu saja. Dalam 10 tahun terakhir ini praktik pemberian mas kawin gading makin pudar. Sebagian masyarakat mempraktikkannya, tetapi sebagian lainnya tidak.

"Kadang-kadang dalam kesepakatan adat antara keluarga pria dan wanita, pihak pria diwajibkan menyerahkan 10 batang gading kepada keluarga wanita sebelum menikah resmi secara agama. Tetapi, karena keluarga pria tidak sanggup mengadakan gading sebanyak itu, pernikahan pun ditunda atau dilaksanakan tanpa penyerahan sebatang gading pun," kata Todo.

Penentuan berapa batang gading yang diperlukan untuk meminang seorang anak gadis memang tidak jelas. Versi suku Corebima di Kiwangona Adonara Timur, untuk melamar anak wanita pertama (tertua), calon pengantin pria harus menyiapkan mas kawin 10 batang gading gajah.

Bagi anak wanita kedua, jumlah gading yang harus disiapkan tujuh batang, sedangkan bagi anak wanita ketiga dan anak wanita keempat masing-masing lima dan tiga batang. Namun, kebanyakan masyarakat selalu hormat pada kesepakatan kedua pihak saat upacara koda pake, yakni pertemuan keluarga pria dan wanita dalam kaitan penentuan jumlah gading gajah yang harus disiapkan sebagai mas kawin.

Pembahasan mengenai gading yang harus dipersiapkan sebagai mas kawin masih merupakan acara adat yang penting di Adonara khususnya dan Flores Timur serta Lembata pada umumnya.

Sebuah pertemuan adat perkawinan tidak akan seru tanpa membahas masalah gading. Dalam proses tawar-menawar gading itu, pihak keluarga wanita biasanya cenderung emosional dan berkuasa penuh atas seluruh pembicaraan. Pihak keluarga pria harus hati-hati mengeluarkan pernyataan. Jika ada kalimat yang salah diucapkan, bisa-bisa mereka kena denda—berupa gading atau binatang sesuai dengan tuntutan pihak keluarga wanita, di luar mas kawin.

Tidak direalisasikan

Belakangan ini gading hanya dibicarakan selama proses adat, tetapi tidak direalisasikan. Padahal, pembicaraan tentang itu dilakukan untuk menempatkan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, mulia, dan terhormat. Jika gading hanya dibicarakan tanpa realisasi, calon istri bisa dianggap remeh oleh sang pria. Pria akan menilai perkawinan merupakan sesuatu yang biasa dan ia pun bisa berselingkuh.

Rafael Lamanepa, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Flores Timur, berpendapat mas kawin gading tidak boleh dihapus. Apalagi, di Lamaholot, mas kawin gading masih memiliki posisi sentral. Belum ada warga suku Lamaholot, khususnya Adonara, yang meminta uang ketika anak gadisnya dilamar pria Adonara. Meski hanya disimpan di rumah, gading memiliki nilai sosial yang tinggi. Rumah yang dihiasi gading dinilai rumah bergengsi, berkhasiat, dan rumah berezeki.

"Uang miliaran rupiah di bank tidak mampu mengimbangi status sosial keluarga itu, hanya karena sebatang gading yang tersimpan di rumah. Gading memiliki nilai mistis, magis, dan karena itu sangat berpengaruh terhadap hasil keturunan dari pasangan suami istri. Karena itu, sebuah perkawinan harus dilengkapi dengan pemberian gading sebagai mas kawin," papar Lamanepa.

Di beberapa tempat di Pulau Adonara, sebatang gading sering diperlakukan istimewa, luar biasa, karena dinilai memiliki kekuatan tertentu. Misalnya, dipercaya bisa berjalan pada saat bulan purnama, menggandakan kekayaan keluarga, dan mampu menyembuhkan orang sakit parah. Gading gajah dimandikan lalu air cucian itu diminumkan kepada orang yang sakit.

Saat ini memang tidak semua perempuan Adonara setuju dengan mas kawin gading. Sebagian dari mereka lebih suka kalau mas kawin diwujudkan dalam bentuk uang mengingat gading semakin sulit didapatkan, di samping harganya mahal dan dinilai sangat membebani masa depan keluarga.

Ny Adelheid Benga (35) dari Desa Mewet, Adonara Barat, Flores Timur, misalnya, menyebutkan, dari 10 batang gading yang diputuskan dalam proses adat koda pake pada tahun 1995, yang terpenuhi baru satu batang. Itu pun diserahkan pada tahun 2003 dan didapatkan dengan susah payah.

"Suami saya beli gading itu dari Waiwerang dengan harga Rp 11 juta, tetapi uang tersebut kami pinjam dari tetangga. Saat itu pihak pemilik gading minta uang Rp 11 juta diserahkan secara tunai, baru gading boleh keluar dari rumah. Kami belum punya uang sebesar itu, akhirnya pinjam dari tetangga Rp 5 juta untuk menggenapi simpanan yang ada," tuturnya.

Benga melangsungkan "kawin lari" dengan Rensus pada tahun 1995. Ketika itu keduanya masih duduk di SMA Waiwerang, Adonara Timur. Meskipun mereka kemudian hidup bersama sebagai suami istri, keluarga Rensus belum memberi mas kawin.

Setelah delapan tahun anak pertama mereka lahir, keluarga Rensus menyerahkan mas kawin berupa satu batang gading, bala belee, yang nilainya Rp 11 juta.

Jika selama pernikahan Rensus dan Benga tidak meraih kesepuluh gading tersebut, berarti pemenuhan sembilan gading lainnya akan dibebankan kepada anak laki-laki pertama mereka. Jika anak laki-laki pertama meninggal dunia, tanggung jawab itu dialihkan kepada anak laki-laki kedua.

Karena itu, tanggung jawab anak laki-laki mereka itu semakin berat sebab suatu saat anak itu juga akan menikah dan harus memberi mas kawin kepada pasangannya. "Kondisi ini tentu amat membebani keluarga besar Rensus. Bagaimanapun, mereka harus bertanggung jawab atas kesepakatan adat mas kawin tersebut," papar Nasu Kopong.

Untuk meringankan utang mas kawin, sering dalam masyarakat Lamaholot satu atau dua anak perempuan hasil perkawinan Benga dan Rensus diserahkan kepada keluarga besar Benga. Anak perempuan itu akan menjadi hak penuh orangtua Benga.

Sampai tahun 1960-an satu batang gading dihargai dengan satu anak perempuan. Jika Rensus memiliki 2-3 saudara perempuan, misalnya, saudaranya itu dapat diserahkan kepada keluarga Benga. Di sana mereka dijadikan sebagai "pekerja".

Utang mas kawin itu tidak hapus meski sang istri meninggal terlebih dahulu dari suaminya. Tidak ada anggota keluarga yang bebas dari mas kawin. Tak heran jika utang mas kawin dari nenek dan kakek masih ditanggung para anak, cucu, atau cicit.

Tak heran bila makin hari makin banyak pria asal Lamaholot yang menikah dengan perempuan dari luar daerah tersebut. Misalnya, menikah dengan perempuan asal Jawa atau lainnya. Itulah budaya yang hingga kini masih terus dibahas eksistensinya(*)K.K.Ama

coratcoret


Integrasi Bangsa dan Konsistensi Kita


Beberapa hari lalu, saya membaca kliping koran milik teman saya. Saya terkesima ketika membaca pernyataan Gus Dur yang disampaikan 22 tahun silam dalam sebuah forum pelatihan kepemimpinan NU Jatim, di Surabaya (Kompas, 13/11/1985).

Gus Dur menyatakan begini: “Kalau negara ini negara Pancasila, siapapun yang mampu memimpin suatu lembaga atau instansi, tidak perlu jadi masalah. Pendekatannya pada prestasi dan kemampuan, entah dia itu orang Islam atau orang Kristen. Ini mestinya!”

Pernyataan di atas, menurut saya, masih relevan dengan perilaku bangsa kita saat ini. Persoalan diskriminasi agama yang disinggung Gus Dur hanyalah satu diantara berbagai kasus diskriminasi lainnya seperti etnik, suku, golongan, dan ras yang masih tumbuh subur di negeri ini. Dan parahnya, isu ini seringkali menjadi amunisi politik segelintir oknum untuk memprovokasi massa.

Indonesia yang telah berusia 62 tahun ini dibangun atas paham kebangsaan. Yang menjadi kriteria pokok siapa orang Indonesia bukanlah suku, keturunan, atau agamanya, tetapi kebangsaannya sebagai orang Indonesia. Ada yang sengaja lupa akan hal ini.

Jika misalnya sebuah negara yang dasarnya suku atau ras, maka yang bukan dari suku dan ras itu bukanlah warga negara yang penuh. Demikian pula, jika dasarnya adalah agama. Maka orang yang tidak beragama sama, juga bukan warga negara. Jika toh diterima juga sebagai warga negara, ia adalah warga negara yang dibedakan.

Indonesia yang paham dasarnya adalah kebangsaan, setiap orang Indonesia, setiap warga negara Indonesia adalah orang Indonesia yang sama penuh kewarganegaraannya dan sama penuh martabatnya sebagai manusia Indonesia. Tidak boleh dibeda-bedakan. Entah itu mayoritas atau minoritas. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menegaskan itu.

Sayangnya, apa yang kita saksikan sekarang justru bertolak belakang. Masih terjadi kecendrungan sentripetal dalam bentuk pergerakan daerah, gejolak separatis, dan gejolak hasrat menggantikan paham dasar negara. Ketika dijajah bangsa asing, kita semua berjuang bersama. Setelah merdeka, sikap egoisme dimunculkan. Ini sama saja berkhianat terhadap para pahlawan dan pendiri bangsa ini.

Sebagai warga negara yang menghargai jasa pahlawannya, perlu memasyarakatkan dan memahamkan secara kreatif, kritis, dan positif apa yang dimaksudkan: Pancasila sebagai asas tunggal untuk perikehidupan berbangsa dan bernegara, berikut implikasi-implikasinya bagi masyarakat, dan juga pemerintah.

Selain itu, perlu mempraktekan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam keseharian kita dengan saling mengenal lebih dekat antar pribadi maupun kelompok yang satu dengan lainnya. Jika Anda orang Jawa, sudah sejauh mana Anda mengenal bangsamu yang di Sumatra, Bali, Flores, Papua, Sulawesi, Ambon, dan lainnya. Jika Anda seorang Kristen, sejauh mana Anda mengenal dan menghargai sesama sebangsa yang non Kristen. Jika Anda seorang perantau, sedekat apa Anda mengenal tetangga dan budaya di lingkungan di mana Anda berada.

Prakarsa ini menjadi tanggung jawab kita untuk terus mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas. Karena, seringkali terjadi, oknum pemerintah dan unsur pimpinan masyarakat atau golongan, bukannya menggerakan masyarakat ke arah kemajuan sesuai paham dasar Pancasila dan kebangsaan, tetapi justru mengeksploitasinya atau menjadikan bahan manuver untuk tujuan-tujuan yang tidak mulia dan memecah-belah keutuhan bangsa. Nah, tugas kita yang masih sadar adalah “menjewer kuping” orang-orang yang tidak konsisten itu.(ansis)

GEMA bersama Wagub NTT (25/2/07)